Saya mendengar dari orang lain mengenai keberadaan momen
istimewa ini. Momen dimana waktu seakan membeku, dunia di sekitar lenyap.
Senyap. Hanya Anda yang tertinggal di dalam dimensi itu. Ajaib memang, tapi tak
pernah terlintas dalam pikiran saya bahwa momen itu sesungguhnya benar ada.
Beberapa kali saya mengalami suatu momen yang magical, tapi perasaan istimewanya hanya berlangsung untuk beberapa
saat. Ada yang satu hari, tiga minggu, dua puluh dua bulan. Tapi belum pernah satu
momen pun yang membuat saya limbung sedemikian rupa, sampai membuat saya ingin
loncat dari ketinggian maupun mengubur diri di dalam tanah.
Sampai datanglah hari dimana saya akan berulangtahun yang
ke-23. Di kota yang disebut banyak orang “dingin” dan “membosankan” itulah saya
terserap ke dalam satu momen yang tidak bisa saya jelaskan. Tepat pukul 03.00 pagi
saya terbangun pada satu dari ratusan gedung apartemen negeri singa ini. Sepi.
Seisi kota seakan mati. Sesekali terdengar suara yang terdengar seperti raungan
bus. Saya buka tirai yang menutupi jendela besar di sisi tempat tidur. Benar
saja. Salah satu bus malam baru keluar dari terminal bus di seberang komplek
apartemen, walau saya sangsi ada penumpang di dalamnya. Inci demi inci saya
nikmati pemandangan malam yang terhampar di hadapan. Kuning, seperti halnya
lampu jalan yang menyoroti tiap ruas jalan Singapura. Tidak ada yang terlewat
sedikitpun. Saya tengok sahabat saya di sebelah, masih pulas tertidur. Andai
tidak ada dia di samping, pastilah saya sudah loncat dari jendela ini karena
kebingungan dan resah yang melanda di menit-menit setelahnya.
Pada momen saat saya memandangi jendela besar itulah muncul
segala memori perjalanan hidup ke hadapan saya. Kejadian-kejadian menyenangkan
dan kebalikannya semua terpampang jelas. Segala perasaan datang campur aduk. Termasuk
rasa bersalah akibat semua kesalahan yang pernah saya lakukan. Juga timbul
pertanyaan akan segala keputusan hidup yang pernah saya ambil selama hidup saya
sebagai seorang dewasa dan berakal. Kenapa, kenapa, kenapa? Kenapa saya memilih
jalan yang itu, itu dan itu? What was I thinking?
Bertubi-tubi segala perasaan menyergap. Harus saya akui,
sebagai manusia saya banyak melakukan kebodohan dan kesalahan. Ya ya memang
pada akhirnya semua harus kita pasrahkan pada Yang Maha Kuasa, bahwa semua
sudah Dia atur sedemikian rupa. Namun Dia pun memberi pilihan hidup untuk kita
bukan? Lalu Kenapa? Kenapa saya tidak pernah belajar semasa sekolah sehingga
semakin hari nilai akademis saya semakin terpuruk? Kenapa saya sempat begitu
terbutakan oleh sebuah hubungan sehingga rela menerlantarkan yang lain-lainnya?
Jika saya lihat sekarang mungkin bisa dengan mudah berkata, “Ah remaja, masih
labil,”. Tapi saya yang remaja itu lho yang membuat saya duduk terdiam di
pinggir jendela ini, menyesali banyak keputusan hidup. Saya yang remaja itu lho
yang membuat saya sekarang mengantongi ijazah dengan IPK pas-pasan dan susah
mencari kerja. Dan saya yang remaja juga yang membuat banyak orang membenci
saya hingga saat ini.
Kalau saja saya bisa memanfaatkan waktu dengan benar,
mungkin saja saya akan bisa kuliah di kota ini. Mungkin saja saya akan memilih
partner yang lain, dan mungkin juga saya akan sudah menikah saat ini. Kalau
saja saya berusaha sedikit untuk mencari, mungkin saya akan menemukan banyak
jawaban lain untuk dipilih. Kalau saja saya mau berusaha lebih setiap saat.
Saat itu saya hanya bisa terdiam. Mutlak dan habis saya
dihakimi oleh diri sendiri. Mungkin oleh nurani saya yang sejak dulu lelah
berteriak tapi selalu tak didengar oleh akal pikiran. Bodoh, pengecut, buta,
pemalas, pembohong. Habis semua kata-kata bergema dalam batin. Apa sih yang
sudah saya capai sampai saat ini? Sepertinya kalau seorang s-a-y-a tidak ada
dalam sistem pun, alam semesta tidak akan kehilangan. Menyia-nyiakan begitu
banyak kesempatan dan membuang begitu banyak waktu, ah mau jadi apa saya ini.
Biasanya kalau sudah terpuruk sedemikian rupa baru saya
menghadap Tuhan dengan segala rasa pasrah dan rendah diri. Ah kadang saya malu
juga, di kala susah yang teramat sangat baru saya ingat Dia. Saya lihat jam,
pukul 4.15 pagi. Mungkin sudah masuk waktu Subuh, tapi mungkin belum. Saya
tidak tahu pasti, karena ibadah yang terjadi pada pagi buta ini sering saya
lewati jadi saya tidak familiar dengan waktu tepatnya.
Tidak bisa tidak saya mengulang sholat Subuh kali itu.
Perasaan gagal menyeret air mata saya keluar berulang-ulang. Terus dan terus. Tak
tahu berapa lama waktu berlalu, namun begitu akhirnya saya bisa menyelesaikan urusan
yang satu itu, MRT sudah mulai beraktivitas. Suara derikan rel terdengar merdu
bagi saya yang sangat suka Singapura. Kota ini mulai bangun. Saya intip ke
bawah, bus-bus sudah mulai berangkat meninggalkan terminal. Pembersih jalanan
sudah mulai bekerja. Sinar oranye mulai nampak di ujung langit. Tak pernah saya
sangka di kota ini akan saya temukan sejumput jendela waktu yang akan mengubah
kehidupan.
Waktu introspeksi saya sudah habis, semoga kesempatan dan waktu saya
belum.